Sabtu, 22 Desember 2012

Pertanyaan Mamat Saja Tak Mampu Kujawab, Apalagi Malaikat

pertanyaan Malaikat


Pertanyaan Mamat Saja Tak Mampu Kujawab, Apalagi Malaikat

Pernah suatu ketika saat sedang menuju rumah seorang kakek untuk keperluan suatu hal, saya menemukan sebuah pelajaran berharga.

Sebelum saya masuk, seorang anak kecil tampak baru pulang mengaji masuk ke rumah yang sama. Di sana terdapat seorang kakek sedang menatap kosong langit biru sambil duduk diatas kursi tua kesayangannya. Sang anak kecil menyapa, lalu bertanya “Kong, Mamat mau tanya nih. Pak ustadz kasih tugas buat dikerjakan di rumah, yaitu menulis 15 huruf ikhfa’. Hurufnya apa aja sih, Kong?”

Si Kakek kaget dengan pertanyaan cucunya, membisu seribu bahasa.

Ayo jawab Kong.” Mamat mendesak.

Engkong ngga tau, Mat.” jawab Engkong melemas.

Masa nggak tau sih.” Mamat tak yakin dengan pernyataan Engkong.

Benar, Mat. Engkong ngga tahu, dah lupa.”  jawab Engkong dengan retorikanya.

Kong! Emang waktu masih muda engkong kemana aja? Masa’ huruf ikhfa aja nggak tau.” Mamat kesal sambil berlari ke dalam rumah.

Langkahku tertahan menyaksikan adegan dialog tersebut, sambil terdiam dan mengamati apa yang terjadi berikutnya. Lalu si kakek terlihat menutup wajah tuanya dengan dua telapak tangannya yang coklat dan nampak garis keriputnya.

Kemudian aku masuk dan menyapa Kakek dengan salam. Beliaupun menyahut, menyapa dan mempersilahkanku masuk. Kulihat matanya memerah dan dengan lelehan air mata.

Kenapa, Kong?” tanyaku.

Ah, nggak ada apa-apa,” jawabnya sambil menenangkan diri.

Gara-gara pertanyaan Mamat barusan ya?” tanyaku kembali.

Si Kakek kaget sambil melihat wajahku.

Benar kan?” kuyakinkan.

Benar.”

Apa yang salah dengan pertanyaannya?” Rasa penasaranku semakin menguat.

Apakah pertanyaan sederhana itu begitu menyayat hati?

Lalu Kakek menjawab, “Wahai anak muda, jangan kau sia-siakan masa mudamu. Karena usia muda itu hanya kau alami sekali dalam hidupmu. Benar aku menangis karena Mamat, tetapi bukan itu yang membuat air mata ini mengalir. Hatiku berkata, Ya Allah, pertanyaan Mamat saja tak bisa aku jawab, apalagi saat aku ditanya oleh malaikat saat di alam barzakh (kubur).”

Kakek melanjutkan, “Usiaku kini 75 tahun. Tetapi usia yang tua ternyata tak mampu menjawab pertanyaan seorang bocah ingusan. Seakan akan hidup baru 3-5 tahun saja di dunia.”

Aku pun ikut menangis, melihat jawaban Kakek menyesali hidupnya.

Wahai sahabat, gunakan masa muda sebelum datang masa tua, karena catatan besar selalu hadir pada usia muda. Sejarah kepahlawanan itu terukir di usia muda. Kematangan tua itu dipupuk pada usia muda. Ilmu dan pengalaman itu dikumpulkan di usia muda. Kegagahan dan kejayaan itu terjadi diusia muda. Kekuatan dan keberanian itu menyatu dengan gairahnya anak muda. Cerita indah itu dibangun diusia muda. Penaklukan peradaban itu di lakukan oleh para pemuda. Mimpi-mimpi besar itu berawal dari usia muda.

Wahai jiwa yang mendambakan kemuliaan di usia muda, lakukanlah karya hebat diusia mudamu, karena ia adalah momentum emas. Sebaik-baiknya karya adalah yang hal yang mendatangkan keridhoan Allah, menghadirkan senyuman Rosululloh, menjadi kebanggaan orang tua, keluarga, suami, istri, anak-anak dan tetangga serta kemaslahatan bagi manusia.

***

Kisah di atas dituturkan oleh Ustadz Reza Sulthan (Pengurus IKADI Jakarta Barat).

Muhammad Sholich Mubarok, Jakarta

Jumat, 21 Desember 2012

Hasan al-Bashri


hasan al-bashri



Telah datang berita gembira kepada istri Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam, Ummu Salamah, bahwa budaknya yang bernama Khairah telah melahirkan seorang bayi laki-laki.

Ummul Mukminin hanyut dalam kegembiraan dan wajahnya tampak ceria dan berseri-seri. Dia mengutus seseorang untuk membawa ibu dan bayinya ke rumah selama masa-masa pemulihan pasca melahirkan. Khairah adalah budak yang paling beliau sayangi dan beliau telah rindu menantikan kelahiran bayi pertama dari budaknya itu.

Tak lama setelah itu Khairah pun datang dengan bayi di gendongannya. Ketika Ummu Salamah memandangnya, beliau langsung menyukai bayi itu karena wajahnya yang tampan dan cerah, menarik hati siapapun yang memandangnya.

Ummu Salamah bertanya kepada budaknya: “Sudahkah engkau memberikan nama untuknya wahai Khairah?” Khairah menjawab: “Belum, aku ingin Anda-lah yang memilihkan nama untuknya sesuka Anda.”

Ummu Salamah berkata, “Kita akan memberi nama yang diberkahi Allah Subhanahu wa Ta’ala yaitu Hasan.” Lalu beliau mengangkat tangannya untuk mendoakan kebaikan bagi sang bayi.

Kebahagiaan atas kelahiran Hasan itu tidak hanya dirasakan oleh keluarga Ummul Mukminin Ummu Salamah saja. Namun juga dirasakan oleh seisi rumah di Madinah, yaitu di rumah sahabat utama yang juga penulis wahyu Rosululloh, Zaid bin Tsabit. Sebab ayah si bayi, yakni Yasaar, adalah budak Zaid bin Tsabit yang paling disayangi dan diutamakan di antara budak yang lain.

Hasan bin Yassar (yang pada akhirnya lebih terkenal dengan sebutan Hasan al-Bashri) tumbuh di salah satu rumah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, besar di pangkuan salah satu istri beliau, yaitu Hindun binti Suhail yang lebih sering dipanggil dengan Ummu Salamah.

Adapun Ummu Salamah –kalau pembaca belum tahu- adalah seorang wanita Arab yang termasuk paling sempurna akalnya, banyak keutamaannya, dan teguh pendiriannya. Beliau juga termasuk istri nabi yang paling luas pengetahuannya dan paling banyak meriwayatkan hadis dari Rosululloh. Beliau meriwayatkan sebanyak 387 hadis. Beliau juga termasuk dari sedikit bilangan wanita di masa jahiliyah yang mampu baca-tulis.

Hubungan bayi yang beruntung itu dengan Ummu Salamah tidak hanya sebatas itu. Lebih jauh lagi, karena seringkali ibunda beliau, Khairah, harus keluar dari rumah untuk mengurus kebutuhan Ummul Mukminin sehingga harus meninggalkan bayinya. Bila sang bayi menangis karena lapar, maka Ummul Mukminin meletakkan bayi itu di pangkuannya, lalu disusui supaya diam. Karena rasa cintanya terhadap bayi itu, Ummul Mukminin bisa mengeluarkan air susu yang kemudian diminum oleh si bayi hingga merasakan kenyang dan diam dari tangisnya. Dengan demikian, kedudukan Ummu Salamah bagi Hasan al-Bashri adalah sebagai ibu dalam dua sisi. Pertama karena Hasan al-Bashri adalah seorang dari mukminin sedang Ummu Salamah adalah Ummul Mukminin. Kedua Ummu Salamah adalah ibu susuan bagi beliau.

Anak ini meraih kesempatan emas untuk bergaul dengan istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebab rumah-rumah mereka berdekatan sehingga ia bisa bermain dari satu rumah ke rumah yang lain. Sudah barang tentu akhlak beliau terwarnai oleh para penghuni rumah itu dan mendapatkan bimbingan dari mereka.

Seperti yang diceritakan oleh Hasan al-Bashri sendiri, dia mengisi rumah Ummul Mukminin dengan ketangkasannya yang menyenangkan. Sering dia naik ke atap rumah lalu berpindah-pindah dengan lincahnya.

Hasan dibesarkan dalam suasana yang diterangi oleh cahaya nubuwah dan meneguk sumber air jernih (ilmu) yang tersedia di rumah-rumah ummahatul mukminin. Beliau juga berguru kepada sahabat-sahabat utama di Masjid Nabawi. Beliau meriwayatkan dari Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abu Musa al-Asy’ari, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Anas bin Malik, Jabir bin Abdillah dan lain-lain.

Meski demikian, kekaguman yang paling menonjol jatuh kepada Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Dia mengagumi keteguhan agamanya, ketekunan ibadahnya, kezuhudannya terhadap kesenangan dunia, kefasihan lidahnya, hikmah-hikmahnya yang berkesan di hatinya, kemantapan tutur katanya dan nasihat-nasihatnya yang menggetarkan hati. Sehingga beliau berusaha berakhlak dengannya dalam hal takwa dan ibadah serta mengikuti jejaknya dalam memberikan keterangan dan kefasihan bahasanya.

Menginjak usia 14 tahun, ketika memasuki usia remaja, beliau berpindah bersama kedua orang tuanya ke Bashrah dan menetap di sana. Dari sinilah muncul julukan al-Bashri, yang dinisbahkan pada kota Bashrah. Lalu keutamaan beliau mulai dikenal orang-orang di Bashrah.

Di saat Hasan al-Bashri menjadi imam, kota Bashrah merupakan benteng Islam yang terbesar dalam bidang ilmu pengetahuan. Masjidnya yang agung penuh dengan para sahabat dan tabi’in yang hijrah ke sana dan halaqah-halaqah keilmuan dengan beraneka ragam dan coraknya memakmurkan masjid-masjid dan suraunya.

Hasan al-Bashri tinggal di masjid itu dan menekuni halaqah Abdullah bin Abbas, Habru umati Muhammad (Ustadnya umat Muhammad). Dia mengambil pelajaran tafsir, hadis, qiraah, fiqh, adab, bahasa dan sebagainya. Hingga beliau menjadi seorang ulama besar dan fuqaha yang terpercaya.

Maka, umat banyak menggali ilmunya, mendantangi majelisnya serta mendengarkan ceramahnya yang mampu melunakkan jiwa-jiwa yang keras dan mencucurkan air mata orang-orang yang terlanjur berbuat dosa. Banyak orang terpikat dengan hikmahnya yang mempesona.

Nama Hasan al-Bashri telah menyebar di seluruh daerah dan dikenal di mana-mana.

Para gubernur dan khalifah menanyakan dan mengikuti beritanya.

Khalid bin Shafwan bercerita. “Aku bertemu dengan Maslamah bin Abdul Malik di daerah Hirah, beliau berkata, ‘Wahai Khalid, ceritakan kepadaku tentang Hasan al-Bashri, aku rasa engkau lebih mengenalnya dari yang lain.”

Aku berkata, “Semoga Allah menjaga Anda. Saya sebaik-baik orang yang akan memberikan keterangan tentang Hasan al-Bashri wahai Amir, karena saya adalah tetangga sekaligus muridnya yang setia. Saya lebih mengenal beliau daripada orang Bashrah lainnya’.”

Beliau berkata, “Ceritakan apa yang Anda ketahui tentangnya.” Saya berkata, ‘Beliau adalah orang yang hatinya sama dengan lahiriyahnya, perkataannya serasi dengan perbuatannya. Jika menyuruh perkara yang ma’ruf, maka beliau pula yang paling sanggup melakukannya. Jika melarang yang mungkar, beliau pula yang paling mampu meninggalkannya. Saya mendapatinya sebagai orang yang tidak memerlukan pemberian; dan zuhud terhadap apa yang ada di tangan orang lain. Sebaliknya saya dapati betapa orang-orang memerlukan dan menginginkan apa yang dimilikinya.”

Maslamah berkata, “Cukup wahai Khalid, cukup. Bagaimana kaum itu bisa sesat, bila ada orang semisal dia di tengah-tengah mereka?

Ketika Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi berkuasa di Irak, bertindak sewenang-wenang dan kejam di wilayahnya, Hasan al-Bashri adalah termasuk dalam bilangan sedikit orang yang berani menentang dan mengecam keras akan kezaliman penguasa itu secara terang-terangan.

Suatu ketika, Hajjaj membangun istana yang megah untuk dirinya di kota Wasit. Ketika pembangunan selesai, diundangnya orang-orang untuk melihat dan mendoakannya. Hasan al-Bashri tak mau menyia-nyiakan kesempatan yang baik di mana banyak orang sedang berkumpul. Dia tampil memberikan ceramah, mengingatkan mereka agar bersikap zuhud di dunia dan menganjurkan manusia untuk mengejar apa yang ada di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Begitulah, ketika Hasan al-Bashri tiba di tempat itu dan melihat begitu banyak orang-orang mengelilingi istana yang megah dan indah dengan halamannya yang luas, beliau berdiri untuk berkhutbah. Di antara yang beliau sampaikan adalah: “Kita mengetahui apa yang dibangun oleh manusia yang paling kejam dan kita dapati Fir’aun yang membangun istana yang lebih besar dan lebih megah daripada bangunan ini. Namun kemudian Allah membinasakan Fir’aun beserta apa yang dibangunnya. Andai saja Hajjaj bahwa penghuni langit telah membencinya dan penduduk bumi telah memperdayakannya…”

Beliau terus mengkritik dan mengecam hingga beberapa orang mengkhawatirkan keselamatannya dan memintanya berhenti: “Cukup Wahai Abu Sa’id, cukup.”

Namun Hasan al-Bashri berkata, “Wahai saudaraku, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengambil sumpah dari ulama agar menyampaikan kebenaran kepada manusia dan tak boleh menyembunyikannya.”

Keesokan harinya Hajjaj menghadiri pertemuan bersama para pejabatnya dengan memendam amarah dan berkata keras: “Celakalah kalian! Seorang dari budak-budak Basrah itu memaki-maki kita dengan seenaknya dan tak seorang pun dari kalian berani mencegah dan menjawabnya. Demi Allah, akan kuminumkan darahnya kepada kalian wahai para pengecut!”

Hajjaj memerintahkan pengawalnya untuk menyiapkan pedang beserta algojonya dan menyuruh polisi untuk menangkap Hasan al-Basri.

Dibawalah Hasan al-Basri, semua mata mengarah kepadanya dan hati mulai berdebar menunggu nasibnya. Begitu Hasan al-Basri melihat algojo dan pedangnya yang terhunus dekat tempat hukuman mati, beliau menggerakkan bibirnya membaca sesuatu. Lalu berjalan mendekati Hajjaj dengan ketabahan seorang mukmin, kewibawaan seorang muslim, dan kehormatan seorang da’i di jalan Allah.

Demi melihat ketegaran yang demikian, mental Hajjaj menjadi ciut. Terpengaruh oleh wibawa Hasan al-Basri, dia berkata ramah: “Silahkan duduk di sini wahai Abu  Sa’id, silahkan..”

Seluruh yang hadir menjadi bengong dan terheran-heran melihat perilaku amirnya yang mempersilahkan Hasan al-Basri duduk di kursinya. Sementara itu, dengan tenang dan penuh waibawa Hasan al-Basri duduk di tempat yang disediakan. Hajjaj menoleh kepadanya lalu menanyakan berbagai masalah agama, dan dijawab Hasan al-Basri dengan jawaban-jawaban yang menarik dan mencerminkan pengetahuannya yang luas.

Merasa cukup dengan pertanyaan yang diajukan, Hajjaj berkata, “Wahai Abu Sa’id, Anda benar-benar tokoh ulama yang hebat.” Dia semprotkan minyak ke jenggot Hasan al-Basri lalu diantarkan sampai di depan pintu.

Sesampainya di luar istana, pengawal yang mengikuti Hasan al-Basri berkata, “Wahai Abu Sa’id sesungguhnya Hajjaj memanggil Anda untuk suatu urusan yang lain. Ketika Anda masuk dan melihat algojo dengan pedangnya yang terhunus, saya lihat Anda membaca sesuatu, apa sebenarnya yang Anda lalukan ketika itu?

Beliau berkata, (Aku berdoa) “Wahai Yang Maha Melindungi dan tempatku bersandar dalam kesulitan, jadikanlah amarahnya menjadi dingin dan menjadi keselamatan bagiku sebagaimana Engkau jadikan api menjadi dingin dan keselamatan bagi Ibrahim.”

Kejadian serupa sering dialami Hasan al-Basri berhubungan dengan para wali negeri dan amir, di mana beliau selalu lolos dari setiap kesulitan tanpa menjatuhkan wibawanya di mata para penguasa tersebut dengan lindungan dan pemeliharaan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Setelah wafatnya khalifah yang zuhud Umar bin Abdul Aziz, kekuasaan beralih ke tangan Yazid bin Abdul Malik. Khalifah baru ini mengangkat Umar bin Hubairah al-Faraqi sebagai gubernur Irak sampai Khurasan. Yazid ditengarai telah berjalan tidak seperti jalannya kaum salaf yang agung. Dia senantiasa mengirim surat kepada walinya, Umar bin Hubairah agar melaksanakan perintah-perintah yang ada kalanya melenceng dari kebenaran.

Untuk memecahkan problem itu, Umar bin Hubairah memanggil para ulama di antaranya asy-Sya’bi dan Hasan al-Basri. Dia berkata: “Sesungguhnya Amirul Mukminin, Yazid bin Abdul Malik telah diangkat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai khalifah atas hamba-hamba-Nya. Sehingga wajib ditaati dan aku diangkat sebagai walinya di negeri Irak sampai kupandang tidak adil. Dalam keadaan yang demikian, bisakah kalian memberikan jalan keluar untukku, apakah aku harus menaati perintah-perintahnya yang bertentangan dengan agama?

Asy-Sya’bi menjawab dengan jawaban yang lunak dan sesuai dengan jalan pikiran pemimpinnya itu, sedangkan Hasan al-Basri tidak berkomentar sehingga Umar menoleh kepadanya dan bertanya, “Wahai Abu Sa’id, bagaimana pendapatmu?

Beliau berkata, “Wahai Ibnu Hubairah, takutlah kepada Allah atas Yazid dan jangan takut kepada Yazid karena Allah. Sebab ketahuilah bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala bisa menyelamatkanmu dari Yazid, sedangkan Yazid tak mampu menyelamatkanmu dari murka Allah. Wahai Ibnu Hubairah, aku khawatir akan datang kepadamu malaikat maut yang keras dan tak pernah menentang perintah Rabb-nya lalu memindahkanmu dari istana yang luas ini menuju liang kubur yang sempit. Di situ engkau tidak akan bertemu dengan Yazid. Yang kau jumpai hanyalah amalmu yang tidak sesuai dengan perintah Rabb-mu dan Rabb Yazid.”

Wahai Ibnu Hubairah, bila engkau bersandar kepada Allah dan taat kepada-Nya, maka Dia akan menahan segala kejahatan Yazid bin Abdul Malik atasmu di dunia dan akhirat. Namun jika engkau lebih suka menyertai Yazid dalam bermaksiat kepada Allah, niscaya Dia akan membiarkanmu dalam genggaman Yazid. Dan sadarilah wahai Ibnu Hubairah, tidak ada ketaatan bagi makhluk, siapapun dia, bila untuk bermaksiat kepada Allah.

Umar bin Hubairah menangis hingga basah jenggotnya karena terkesan mendengarnya. Dia berpaling dari asy-Sya’bi kepada Hasan al-Basri, Umar semakin bertambah hormat dan memuliakannya. Setelah kedua ulama itu keluar dan menuju ke masjid, orang-orang pun datang berkerumun ingin mengetahui berita pertemuan mereka dengan amir Irak tersebut.

Asy-Sya’bi menemui mereka dan berkata; “Wahai kaum barangsiapa mampu mengutamakan Allah atas makhluk-Nya dalam segala keadaan dan masalah, maka lakukanlah. Demi yang jiwaku ada di tangan-Nya, semua yang dikatakan Hasan al-Basri kepada Umar bin Hubairah juga aku ketahui. Tapi yang kusampaikan kepadanya adalah untuk wajahnya, sedangkan Hasan al-Basri menyampaikan kata-katanya demi mengharap wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka aku disingkirkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dari Ibnu Hubairah, sedangkan Hasan al-Basri didekati dan dicintai…”

Allah memberikan karunia umur kepada Hasan al-Basri hingga berusia lebih dari 80 tahun dan telah memenuhi dunia ini dengan ilmu, hikmah dan fiqih. Warisan yang diunggulkannya bagi generasi kini di antaranya adalah kehalusan dan nasihat-nasihatnya yang mampu menyegarkan jiwa  dan mampu menyentuh hati, menjadi petunjuk bagi mereka yang lalai akan hakikat kehidupan dunia serta ihwal manusia dalam menyikapi dunia.

Beliau pernah ditanya oleh seseorang tentang dunia dan keadaannya. Beliau berkata, “Anda bertanya tentang dunia dan akhirat. Sesungguhnya perumpamaan dunia dan akhirat adalah seperti timur dan barat, bila satu mendekat, maka yang lain akan menjauh.”

Dan Anda memintaku supaya menggambarkan tentang keadaan dunia ini. Maka aku katakan bahwa dunia diawali dengan kesulitan dan diakhiri dengan kebinasaan, yang halal akan dihisab dan yang haram akan berujung siksa. Yang kaya akan menghadapi ujian dan fitnah, sedang yang miskin selalu dalam kesusahan.”

Adapun jawaban terhadap pertanyaan orang lain tentang keadaannya dan keadaan orang lain dalam menyikapi dunia beliau berkata, “Duhai celaka, apa yang telah kita perbuat atas diri kita? Kita telah menelantarkan agama kita dan menggemukkan dunia kita, kita rusak akhlak kita dan kita perbaharui rumah, ranjang serta pakaian kita. Bertumpu pada tangan kiri, lalu memakan harta yang bukan haknya.

Makanannya hasil menipu, amalnya karena terpaksa, ingin yang manis setelah yang asam, ingin yang panas setelah yang dingin, ingin yang basah setelah yang kering, hingga manakala telah penuh perutnya ia berkata, “Wahai anakku, ambill obat pencerna.” Hai orang yang dungu, sesungguhnya yang kau cerna itu adalah agamamu.

Mana tetanggamu yang lapar?

Mana yatim-yatim kaummu yang lapar?

Mana orang miskin yang menantikan uluranmu?

Mana nasihat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan rasul-Nya?

Kalau saja engkau sadari hisabmu. Tiap kali terbenam matahari, berkuranglah satu hari usiamu dan lenyaplah sebagian yang ada padamu.”

Kamis malam di bulan Rajab 110 H, Hasan al-Basri pergi memenuhi panggilan Rabb-nya. Pagi harinya menjadi pagi duka cita bagi kota Bashrah.

Jenazahnya dimandikan, dikafani dan dishalatkan setelah shalat Jumat di masjid Jami Basrah, masjid tempat di mana beliau menghabiskan banyak waktu hidupnya, belajar dan mengajar serta menyeru ke jalan Allah.

Orang-orang mengiringkan jenazahnya dan hari itu tak ada shalat ashar di Masjid Jami tersebut karena tak ada yang menegakkannya. Dan shalat jamaah ashar tidak pernah absen sejak dibangunnya masjid itu kecuali di hari itu. Hari di mana Hasan al-Basri berpulang ke haribaan Rabb-nya.


***

Sumber: Mereka adalah Para Tabi’in, Dr. Abdurrahman Ra’at Basya, At-Tibyan, Cetakan VIII, 2009

Kamis, 20 Desember 2012

Umar bin Abdul Aziz, Mutiara yang Bersinar Indah


Mutiara yang Bersinar Indah



Manusia paling dungu ialah manusia yang menjual akhiratnya dengan dunia orang lain.” (Umar bin Abdul Aziz -rohimahulloh-)

Umar bin Abdul Aziz -rohimahulloh- adalah sosok yang setiap kehidupannya dapat dijadikan cermin teladan bagi setiap orang yang ingin memperoleh derajat kemuliaan di dunia dan di akhirat, beliau adalah pemimpin yang adil dan kholifah yang mulia, cucu Amirul Mukminin Umar bin al-Khoththob al-Quroisy -rodhiallohu anhu-. Ia selalu menyibukkan diri untuk dakwah dan berinfak di jalan Alloh -subhanahu wa ta'ala-, semangat menuntu ilmu, terkenal dengan sifatnya yang pengampun dan kerendahan hati. Juga dikenal dengan berbudi pekerti yang mulia, dermawan serta banyak berinfak. Ia termasuk orang yang dekat kepada Alloh -subhanahu wa ta'ala-, dan terjaga seluruh perbuatan-perbuatannya. Ia sangat zuhud terhadap dunia, padahal dunia ada dalam genggamannya, sehingga ia menjadi imam teladan dalam zuhud dan panutan dalam ibadah. Ia didatangi oleh dunia, namun ia menampiknya.

Saudaraku..! Ketahuilah.., bahwa Umar bin Abdul Aziz -rohimahulloh- pernah membagi-bagikan 200 dirham kepada orang-orang pengasingan di Khonasiroh, juga ketahuilah bahwa beliau pernah memberikan kepada Yazid bin Umar bin Mauroq (maulanya Ali bin Abi Tholib -rodhiallohu anhu-) pakaian dan 200 dirham, ditambah lagi 50 dinar karena kesetiaan Umar bin Abdul Aziz -rohimahulloh- kepada Ali bin Abi Tholib -rodhiallohu anhu-.

Terdapat kisah menarik, ketika Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz -rohimahulloh- sedang keluar menunggang kuda kecil berwarna keabu-abuan dan ia mengenakan pakaian yang sederhana, sehingga tidak dikenali oleh sebagian rakyatnya.

Kemudian datang seorang lelaki dengan menunggang seorang lelaki dengan menunggang ontanya dan menderumkan onta tersebut, lantas ia bertanya kepada seseorang tentang Umar bin Abdul Aziz -rohimahulloh-. Maka dikatakan kepadanya, “Bahwa Umar telah keluar bersama kita dan dia akan kembali lagi sekarang.” Umar bin Abdul Aziz mendekat, ia berjalan bersama seseorang. Lalu dikatakan kepada lelaki tersebut, “Ini Umar bin Abdul Aziz.” Lelaki itu akhirnya bangkit dan mengadukan bahwa ‘Ada bin Arthoh berada (mengambil) di tanah miliknya. Umar bin Abdul Aziz -rohimahulloh- berkata, “Demi Alloh kami tidak heran kepadanya kecuali sorbannya yang hitam.” Kemudian Umar bin Abdul Aziz -rohimahulloh- memerintahkan untuk mengembalikan tanah milik lelaki tersebut.

Lalu Umar bin Abdul Aziz -rohimahulloh- bertanya, “Berapa yang engkau habiskan bekalmu untuk bertemu denganku ke sini?” Ia menjawab, “Wahai Amirul Mukminin engkau bertanya tentang pengeluaranku, sedangkan engkau telah mengembalikan tanahku, dan itu lebih baik daripada seratus ribu.” Umar bin Abdul Aziz -rohimahulloh- berkata lagi, “Sesungguhnya apa yang aku kembalikan adalah hakmu, maka beritahu kepadaku berapa ongkos yang telah kamu keluarkan untuk mengunjungiku?” Ia menjawab, “Baiklah,  60 dirham.” Kemudian Umar bin Abdul Aziz -rohimahulloh- menyuruh lelaki itu mengambil sebanyak pengeluaran ongkosnya ke Baitul Maal.

Ketika Umar bin Abdul Aziz -rohimahulloh- selesai menyelesaikan tugasnya ia memanggil lelaki tersebut, lalu lelaki itu berbalik, dan Umar -rohimahulloh- berkata kepadanya, “Ambilah ini 5 dirham dari uangku, maka makanlah dengan uang itu sampai engkau kembali kepada keluargamu inshaAlloh.”

Kisah menarik lainnya, ketika suatu hari seorang Arab Badui dengan mengenakan pakaian using dan masih kentara tanda kesengsaraannya datang menemui Umar bin Abdul AziAlz -rohimahulloh-, lalu berkata dengan suara yang lemah, “Wahai Amirul Mukminin, aku mempunyai kebutuhan, sementara bekalku telah habis. Alloh pasti akan meminta pertanggung-jawabanmu tentang aku pada hari Kiamat!”

Coba ulangi kata-katamu!” kata Umar -rohimahulloh-. Setelah orang Arab Badui itu mengulangi kata-katanya, Umar -rohimahulloh- menundukkan kepalanya, sementara airnya menetes hingga jatuh ke bumi. Ia lalu mengangkat kepalanya dan berkata, “Berapa orang jumlah keluargamu?” Orang Arab Badui itu menjawab, “Empat, aku dan ketiga putriku!” Akhirnya, Umar -rohimahulloh- menetapkan bagi laki-laki itu 300 dirham, sedangkan untuk anak-anaknya 100 dirham. Selain itu ia memberi 100 dirham sambil berkata, “Yang 100 ini dari hartaku untukmu, bukan dari harta kaum Muslimin. Sekarang, pergilah dan manfaatkanlah sampai pemberian untuk orang-orang Islam keluar. Nanti, kamu mengambil jatahmu.

Inilah kedermawanan Umar bin Abdul Aziz -rohimahulloh-, ia selalu member kepada orang yang membutuhkan kepada dirinya dengan uang hartanya sendiri, dan tidak dari harta publik atau harta Negara. Ia yakin bahwa kematian pasti menyapa dirinya, maka ia berusaha untuk menciptakan sebuah kematian yang indah, yang tiada lain tentunya dengan banyak berinfak.

Alloh -subhanahu wa ta'ala- berfirman,
Dan bersegeralah kalian kepada ampunan dari Robb kalian dan kepada surge yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Alloh menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Alloh, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka, dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Alloh? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (Ali ‘Imron : 133-135)

***

INTISARI HASMI, Menuju Masyarakat Islami, Realita Kemurnian & Kepalsuan, vol. 24.2012

Rabu, 19 Desember 2012

Amir bin Abdillah at-Tamimi





Sekarang kita berada di tahun 14 H. Saat dimana para pembimbing generasi dan guru utama di kalangan para shahbat dan senior tabi’in membuat perbatasan kota Bashrah atas perintah khalifah muslimin Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu wa ardhaah.

Mereka bertekad untuk membangun kota baru sebagai markas bagi pasukan kaum muslimin untuk berperang di negeri Persia. Sekaligus sebagai titik tolak untuk berdakwah ilalloh, serta sebagai menara untuk meninggikan kalimat Alloh di muka bumi.

Di kota ini kaum muslimin dari segala penjuru Jazirah Arab, ada yang dari Najd, Hijaz, dan Yaman berkumpul untuk menjaga perbatasan daerah kaum muslimin. Di antara yang turut berhijrah tersebut terdapat pemuda Nejd dari Bani Tamim yang dipanggil dengan nama Amir bin Abdillah at-Tamimi al-Anbari. Usianya masih remaja, masih lunak kulinya, putih wajahnya, suci jiwanya, dan takwa hatinya.

Kendati masih berstatus baru, kota Bashrah menjadi kota terkaya di negeri kaum muslimin dan paling melimpah hartanya, karena tertumpuk di dalamnya hasil ghanimah perang dan tambang emas murni.

Namun begitu, bagi pemuda dari Bani Tamim ini, hal itu bukanlah yang dia cari. Beliau dikenal zuhud terhadap apa yang dimiliki manusia, berharap terhadap apa yang ada di sisi Alloh, berpaling dari dunia dan perhiasannya, menghadapkan jiwanya kepada Alloh dan keridhaan-Nya.

Ketika itu pemuka Bashrah adalah seorang shahabat agung Abu Musa al-Asy’ari, semoga Alloh meridhainya dan menjadikan wajahnya berseri di surga-Nya. Beliau adalah wali kota Bashrah yang bercahaya. Beliau juga panglima perang kaum muslimin yang berasal dari Bashrah setiap kali menghadapi musuh. Beliau adalah imam penduduk Bashrah, pengajar, dan pembimbing menuju ke jalan Alloh Subhanahu wa Ta’ala.

Kepada Abu Musa al-Asy’ari inilah bin Abdillah berguru. Baik dalam kondisi perang maupun damai. Aktif menemani beliau setiap menempuh perjalanan, meneguk ilmu darinya tentang Kitabullah yang masih segar seperti tatkala diturunkan di hati Muhammad. Juga mengambil hadis shahih yang bersambung hingga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia. Beliau menutut ilmu tentang agama Alloh Subhanahu wa Ta’ala di hadapan Abu Musa al-Asy’ari.

Setelah beliau menyempurnakan ilmu sesuai yang dikehendaki, maka beliau membagi hidupnya menjadi tiga bagian.

Bagian pertama adalah untuk halaqah dzikir di masjid Bashrah yang di sana dibacakan dan diajarkan Alquran kepada manusia.

Kedua, beliau pergunakan untuk mengenyam manisnya ibadah, beliau pancangkan kedua kakinya berdiri di hadapan Alloh hingga letih kedua telapak kakinya.

Ketiga, untuk terjun ke medan jihad, beliau menghunus pedangnya untuk berperang di jalan Alloh. Seluruh umurnya tidak pernah absen sedikit pun dari tiga kesibukan tersebut, sehingga beliau dikenal sebagai abid (ahli ibadahnya) dan ahli zuhudnya penduduk Bashrah.

Di antara berita tentang keadaan Amir bin Abdillah adalah seperti yang dikisahkan oleh seorang putra Bashrah yang mengatakan:

Aku pernah mengikuti safar bersama rombongan yang di dalamnya terdapat Amir bin Abdillah, tatkala menjelang malam kami singgah di hutan. Aku melihat Amir mengemasi barang-barangnya, mengikat kendaraannya di pohon dan memanjangkan tali pengikatnya, mengumpulkan rerumputan yang dapat mengenyangkan kendaraannya dan meletakkan di hadapannya.. kemudian beliau masuk ke hutan dan menghilang di dalamnya.

Aku berkata kepada diriku sendiri, “Demi Alloh aku akan mengikutinya dan aku ingin melihat apa yang sedang ia kerjakan di tengah hutan malam ini.” Aku melihat Amir berjalan hingga berhenti di suatu tempat yang lebat pepohonannya dan tersembunyi dari pandangan manusia. Lalu dia menghadap ke kiblat, berdiri untuk shalat. Aku tidak melihat shalat yang lebih bagus, lebih sempurna dan lebih khusyuk dari shalatnya.

Setelah berlalu beberapa rakaat yang dikehendaki Alloh, dia berdoa kepada Alloh dan bermunajah kepada-Nya. Di antara yang dia ucapkan adalah, “Wahai Ilahi, sungguh Engkau telah menciptakan aku dengan perintah-Mu, lalu Engkau tempatkan aku ke dunia ini sesuai kehendak-Mu, lalu Engkau perintahkan ‘Berpegang teguhlah!’, bagaimana aku akan berpegang teguh jika Engkau tidak meneguhkan aku dengan kelembutan-Mu yaa Qawiyyu yaa Matiin! Wahai Ilahi.. sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa seandainya aku memiliki dunia dan seluruh isinya, kemudian diminta demi meraih ridha-Mu nicaya aku akan memberikan kepada orang yang memintanya, maka berikanlah jiwaku kepadaku yaa Arhamar Rahimin! Wahai Ilahi… kecintaaku kepada-Mu yang sangat, membuatku terasa ringan menghadapi musibah, ridha atas segala qadha’, maka aku tidak peduli apapun yang menimpa diriku pagi dan sore harinya selagi masih bisa mencintai-Mu.”

Putra Bashrah itu melanjutkan, “Kemudian rasa kantuk mendatangiku hingga aku tertidur. Berkali-kali aku tidur dan bangun sedangkan Amir masih tegak di tempatnya, tetap dalam shalat dan munajahnya sampai datanglah waktu subuh.

Usai shalat subuh beliau berdoa:

Ya Alloh, waktu subuh telah datang, manusia segera bangun dan pergi mencari karunia-Mu. Sesungguhnya masing-masing mereka memiliki keperluan, dan sesungguhnya keperluan Amir di sisi-Mu adalah agar Engkau mengampuninya. Ya Alloh, kabulkanlah keperluanku dan juga keperluan mereka ya Akramal Akramin. Ya Alloh, sesungguhnya aku telah memohon kepada-Mu tiga perkara, lalu Engkau mengabulkan dua di antaranya dan tinggal satu saja yang belum. Ya Alloh, perkenankanlah permohonan tersebut hingga aku bisa beribadah kepada-Mu sesuka hatiku dan sekehendakku!”

Beliau beranjak dari tempat duduknya dan tiba-tiba pandangan matanya tertuju kepadaku. Beliau terperanjat dan berkata, “Apakah Anda membuntutiku sejak kemarin malam wahai saudaraku dari Bashrah?” Aku menjawab, “Benar.” Beliau berkata, “Rahasiakanlah apa yang Anda lihat, semoga Alloh merahasiakan aib Anda!” Aku menjawab, “Demi Alloh, engkau beritahukan aku terlebih dahulu tentang tiga permohonanmu kepada Alloh tersebut, atau aku akan memberitahukan kepada orang-orang tentang apa yang aku lihat darimu.” Beliau berkata, “Duhai celaka, jangan sampai Anda beritahukan kepada orang lain!” Aku katakan, “Dengan syarat engkau penuhi permintaanku padamu.” Maka tatkala beliau melihat keseriusanku, beliau berkata, “Akan aku ceritakan asalkan Anda mau berjanji kepada Alloh untuk tidak menceritakan hal ini kepada siapapun.” Aku berkata, “Baiklah aku berjanji kepada Alloh untuk tidak menyebarkan rahasia ini selagi Anda masih hidup.” Lalu beliau berkata,

Tidak sesuatu yang memudharatkan agama yang lebih aku takuti dari fitnah wanita, maka aku memohon kepada Rabb-ku agar mencabut rasa cinta (syahwatku) kepada wanita, maka Alloh mengabulkan doaku sehingga tatkala aku berjalan, aku tidak peduli apakah yang aku lihat seorang wanita ataukah tembok.” Aku berkata, “Ini yang pertama, lantas apa yang kedua?” Beliau menjawab, “Yang kedua adalah, aku memohon kepada Rabb-ku agar tidak diberi rasa takut kepada siapapun selain Dia, maka mengabulkan aku, sehingga demi Alloh, tiadalah yang aku takuti baik yang di langit dan di bumi selain Dia.”

Aku bertanya, “Lantas apa doa yang ketiga?” Beliau menjawab, “Aku memohon kepada Alloh agar menghilangkan rasa kantuk dan tidur sehingga aku bisa beribadah kepada-Nya di malam dan siang hari sesuka hatiku, namun Alloh belum mengabulkannya.” Tatkala aku mendengar dari beliau, aku berkata, “Kasihanilah dirimu, Anda telah melakukan shalat di malam hari dan shaum di siang hari, padahal surga dapat diraih dengan amal yang lebih ringan dari apa yang Anda kerjakan. Dan neraka dapat dihindari dengan perjuangan yang lebih ringan dari apa yang Anda usahakan.” Beliau berkata, “Aku takut jika nantinya aku menyesal selagi tiada bermanfaat sedikit pun penyesalan itu. Demi Alloh aku akan bersungguh-sungguh untuk beribadah, tidak ada pilihan lain, jika aku selamat itu semata-mata karena rahmat Alloh, jika aku masuk neraka maka itu karena keteledoranku.

Amir bin Abdillah bukan sekedar ahli ibadah di waktu malam saja, namun juga mujahid di siang harinya. Tiada penyeru jihad fii sabilillah memanggil melainkan beliau segera mendatanginya.

Sudah menjadi kebiasaan beliau, manakala hendak bergabung bersama para mujahidin yang hendak berperang, beliau melihat-lihat kelompok pasukan untuk memilihnya. Jika beliau dapatkan yang sesuai, beliau berkata kepada mereka, “Wahai saudara, sesungguhnya aku ingin bergabung bersama kelompok kalian ini jika kalian mau mengabulkan tiga permintaanku.” Mereka bertanya, “Apa tiga permintaa tersebut?” Beliau menjawab, “Pertama, hendaknya kalian perkenankan aku untuk menjadi pelayan bagi keperluan kalian, maka tidak boleh seorang pun di antara kalian merebut tugas tersebut. Kedua, hendaknya akulah yang dijadikan mu’adzin, maka tidak boleh seorangpun di antara kalian merebut tugas adzan untuk shalat. Ketiga, hendaknya kalian ijinkan aku untuk menginfakkan hartaku kepada kalian sesuai kemampuanku.” Jika mereka menjawab, “Ya”, maka beliau segera bergabung, namun jika dijawab tidak, maka beliau mencari kelompok pasukan yang lain yang mau menerima permintaan tersebut.

Sungguh, di kalangan para mujahidin tersebut Amir bin Abdillah mengambil bagian yang banyak dalam hal resiko dan kesusahan, namun mengambil bagian terkecil dalam hal yang menyenangkan (pembagian ghanimah). Beliau terjun di kancah peperangan dengan gigih yang tiada orang lain segigih beliau dalam berperang. Akan tetapi di saat pembagian ghanimah, tiada yang lebih enggan menerima daripada beliau.

Inilah Sa’ad bin Abi Waqash tatkala usai perang Qadisiyah di Istana Kisra, beliau perintahkan Amru bin Muqarrin untuk mengumpulkan ghanimah dan menghitungnya agar selanjutnya seperlima dari ghanimah tersebut dapat dikirim ke baitul maal bagi kaum muslimin. Adapun sisanya dibagikan kepada para mujahidin. Maka dikumpulkanlah harta benda berharga yang luar biasa banyaknya. Di sana ada keranjang besar yang tertutup oleh tumpukan bebatuan berisi penuh bejana-bejana dari emas dan perak yang biasa dipakai oleh raja-raja persi untuk makan dan minum.

Ada pula sebuah kotak dari kayu mewah yang tatkala dibuka ternyata berisi baju-baju, pakaian dan selendang kaisar yang berenda permata dan mutiara. Ada lagi kotak perhiasan yang berisi barang-barang berharga seperti kalung dan perhiasan yang beraneka ragam. Ada juga kotak yang berisi senjata-senjata milik raja-raja Persia terdahulu, dan pedang-pedang para raja maupun pemimpin yang tunduk kepada Persia sepanjang perjalanan sejarah.

Di saat orang-orang bekerja menghitung ghanimah di bawah pengawasan kaum muslimin. Tiba-tiba muncullah seorang laki-laki yang kusut dan berdebu sedang membawa kotak perhiasan yang berukuran besar dan berat bebannya, dia mengangkat dengan kedua tangannya sekaligus.

Mereka memperhatikan dengan seksama, mata mereka belum pernah melihat kotak perhiasan sebesar itu, belum ada pula di antara kotak perhiasan yang telah terkumpul yang setara atau mendekati besarnya dengan kotak tersebut. Mereka melihat apa yang ada di dalamnya, ternyata penuh berisi perhiasan permata dan intan, lalu mereka bertanya kepada laki-laki tersebut, “Di manakah Anda dapatkan simpanan yang berharga itu?” Orang tersebut menjawab, “Aku dapatkan dalam peperangan anu.. di tempat anu..” Mereka bertanya, “Sudahkah Anda mengambil sebagiannya?” Orang itu menjawab, “Semoga Alloh memberikan hidayah kepada kalian! demi Alloh, sesungguhnya kotak perhiasan ini dan seluruh apa yang dimiliki raja-raja Persia bagiku tidaklah sebanding dengan kuku hitamku. Kalaulah bukan karena ini merupakan hak bagi kaum muslimin niscaya aku tidak sudi mengangkatnya dari dalam tanah dan tidak akan aku bawa ke sini.” Mereka bertanya, “Siapakah Anda, semoga Alloh memuliakan Anda!” Orang itu menjawab, “Demi Alloh, aku tidak akan memberitahukannya karena kalian nanti akan memujiku, tidak pula aku ceritakan kepada selain kalian karena mereka akan menyanjungku. Akan tetapi aku memuji Alloh Ta’ala dan mengharap pahala-Nya.” Kemudian ia meninggalkan mereka dan pergi.

Mereka menyuruh seseorang untuk mengikuti laki-laki tersebut guna memberitahukan kepada mereka siapa sebenarnya laki-laki misterius tersebut. Utusan tersebut terus membuntuti di belakangnya tanpa sepengetahuan beliau hingga sampai kepada para shahabatnya. Utusan tersebut bertanya kepada mereka perihal laki-laki itu, lalu mereka menjawab, “Apakah Anda belum tahu siapa laki-laki itu? Dialah ahli zuhudnya orang Basrah… Amir bin Abdillah at-Tamimi.”

Meski demikian gemilangnya perjalanan hidup Amir bin Abdillah –sebagaimana yang Anda lihat- namun beliau tidak terhindar pula dari hasutan dan gangguan manusia.

Beliau menghadapi resiko yang biasa dialami oleh orang yang lantang menyuarakan kebenaran, mencegah kemungkaran dan berusaha untuk menghilangkannya.

Peristiwa yang melatarbelakangi beliau mendapatkan hasutan tersebut bermula ketika beliau melihat salah seorang anak buah dari kepala polisi Bashrah sedang memegang leher seorang ahli dzimmah dan menariknya. Sementara orang dzimmi tersebut berteriak meminta tolong kepada manusia: “Tolonglah aku semoga Alloh menolong kalian! Tolonglah ahli dzimmah (yang dilindungi) Nabi kalian wahai kaum muslimin!” Maka Amir bin Abdillah menghampirinya dan bertanya, “Kamu sudah menunaikan jizyah yang menjadi kewajibanmu?” Ahli dzimmah itu menjawab, “Ya, aku sudah menunaikannya.” Kemudian Amir menoleh kepada orang yang memegang leher ahli dzimmah tersebut dan bertanya, “Apa yang Anda inginkan darinya?” Dia menjawab, “Aku ingin dia pergi bersamaku untuk membersihkan kebun milik kepala polisi.” Amir bertanya kepada si dzimmi: “Anda berhasrat untuk kerja di tempat tersebut?” Si Dzimmi menjawab, “Tidak, karena tugas itu akan memeras tenagaku dan aku tidak bisa mencari makan untuk keluargaku!” Lalu Amir menoleh lagi kepada laki-laki yang memegang leher dzimi tersebut, “Lepaskan dia!” Ia menjawab, “Aku tidak akan melepaskannya.”

Maka tidak ada pilihan bagi Amir selain menyelamatkan orang dzimmi tersebut sembari berkata, “Demi Alloh, tidak boleh perjanjian orang dzimmi dengan Nabi Muhammad dibatalkan selagi saya masih hidup.” Kemudian berkumpullah orang-orang dan turut membantu Amir mengalahkan polisi itu dan akhirnya selamatlah orang dzimmi tersebut. Sebagai pelampiasannya teman-teman petugas polisi tersebut menuduh Amir sebagai orang yang tidak taat pemerintah dan keluar dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Mereka berkata, “Dia tidak mau menikah dengan wanita.. tidak mau makan daging hewan dan susunya.. tidak mau menghadiri pertemuan yang diadakan pemerintah..” dan mereka mengadukan persoalan tersebut kepada amirul mukminin Utsman bin Affan.

Khalifah memerintahkan wali Bashrah untuk memanggil Amir bin Abdillah dan meminta keterangan kepadanya perihal tuduhan yang ditujukan atasnya, lalu hasilnya agar dilaporkan kepada khalifah. Maka wali Bashrah memanggil Amir dan berkata, “Sesungguhnya amirul mukminin –semoga Alloh memanjangkan umurnya- telah menyuruhku bertanya kepadamu perihal perkara-perkara yang dituduhkan kepada Anda.” Amir menjawab, “Silakan Anda bertanya sesuai dengan yang diinginkan amirul mukmnin.” Lalu wali Bashrah bertanya, “Mengapa Anda menjauhi sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak mau menikah?” Beliau menjawab, “Aku tidak menikah bukan karena ingin menyimpang dari sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena aku tahu bahwa tidak ada kerahiban (hidup membujang untuk beribadah) dalam Islam. Namun aku hanya memiliki satu jiwa saja, maka aku jadikan ia untuk Alloh Subhanahu wa Ta’ala dan aku khawatir jika istriku kelak akan mengalahkan hal itu.”

Wali berkata, “Lalu mengapa Anda tidak mau makan daging?” Beliau menjawab, “Aku bersedia memakannya bila aku berselera dan aku mendapatkannya. Namun apabila aku tidak berselera atau aku berselera namun tidak mendapatkannya, maka aku tidak memakannya.” Beliau ditanya lagi, “Mengapa Anda tidak mau makan keju?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya di daerah saya banyak tinggal orang-orang majusi yang membuat keju, mereka adalah suatu kaum yang tidak membedakan antara bangkai dengan hewan yang disembelih, sehingga saya khawatir jika minyak yang merupakan satu bagian dari bahan pembuat keju berasal dari hewan yang tidak disembelih. Jika telah ada dua orang muslim yang melihat bahwa keju tersebut dibuat dari minyak hewan yang disembelih, tentulah aku akan memakannya.” Beliau ditanya, “Apa yang mengahalangi Anda untuk mendatangi pertemuan yang diadakan pemerintah dan menyaksikannya?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya di depan pintu kalian begitu banyak orang yang ingin dipenuhi hajatnya, maka undanglah mereka ke tempat kalian dan cukupilah kebutuhan mereka dengan apa yang kalian punya, dan biarkanlah orang yang tidak meminta kebutuhan kepada kalian.”

Usai pertemuan tersebut, jawaban Amir bin Abdillah ini dilaporkan kepada amirul mukminin Utsman bin Affan dan khalifah memandang tidak ada indikasi menyimpang dari ketaatan atau keluar dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah pada diri Amir.

Hanya saja api kejahatan belum padam sampai di situ, isu yang membicarakan keburukan Amir bin Abdillah makin gencar, hingga nyaris saja terjadi fitnah antara pembela beliau dengan orang-orang yang menjadi saingannya, lalu Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu memerintahkan beliau untuk berpindah ke negeri Syam dan menjadikan negeri tersebut sebagai tempat tinggalnya. Khalifah mewasiatkan wali kota Syam Mu’awiyah bin Abi Sufyan untuk menyambut baik kedatangan Amir dan menjaga kehormatannya.

Sampailah hari di mana Amir bin Abdillah memutuskan untuk berpindah dari Bashrah. Para shahbat dan murid-murid beliau keluar untuk mengucapkan perpisahan dengan beliau. Mereka mengantar beliau hingga di Marbad, setibanya di sana beliau berkata kepada mereka, “Sesungguhnya saya adalah penyeru maka jagalah seruanku.” Lalu orang-orang melongok agar dapat melihat beliau dan mereka tenang tak bergerak dan mata mereka tertuju kepada beliau, sementara beliau mengangkat kedua tangannya dan berdoa: “Ya Alloh, orang yang tleah menghasut dan mendustaiku serta menjadi sebab terusirnya aku dari negeriku, memisahkan antara diriku dengan para shahabatku… ya Alloh sesungguhnya aku telah memaafkannya, maka maafkanlah dia. Berilah ia karunia kesehatan dalam agama dan dunianya. Limpahkanlah aku, dia, dan juga seluruh kaum muslimin dengan rahmat-Mu, ampunan-Mu, dan kebaikan-Mu wahai Yang Paling pengasih” kemudian beliau mengarahkan kendaraannya menuju Syam.

Amir bin Abdillah memutuskan hidup di negeri Syam untuk mengisi sisa-sisa umurnya. Beliau memilih Baitul Maqdis sebagai tempat tinggal dan beliau mendapatkan perlakuan baik dari pemimpin Syam, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, dihormati dan dihargai.

Tatkala beliau sakit menjelang wafatnya, para shahabat beliau menjenguknya dan mereka mendapatkan beliau sedang menangis. Mereka bertanya, “Apa yang menyebabkan Anda menangis, padahal Anda memiliki keutamaan ini dan itu?” Beliau menjawab, “Demi Alloh aku menangis bukan karena ingin hidup lama di dunia atau takut menghadapi kematian, akan tetapi aku menangis karena jauhnya perjalanan dan alangkah sedikitnya bekal. Sungguh, aku berada di antara tebing dan jurang.. bisa jadi ke surga bisa jadi pula tergelincir ke neraka, aku tidak tahu di mana aku akan sampai..” Kemudian beliau menghela nafas pelan sedang lisannya basah dengan dzikrullah.. di sana.. di sana di kiblat yang pertama.. Haramain yang ketiga.. tempat Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan isra.. Amir bin Abdillah at-Tamimi berdiam diri.

Semoga Alloh menerangi Amir di dalam kuburnya dan memabahagiakannya di surga-Nya yang kekal.

***

Sumber: Mereka adalah Para Tabi’in, Dr. Abdurrahman Ra’at Basya, At-Tibyan, Cetakan VIII, 2009