Telah datang berita gembira kepada istri Rosululloh
shallallahu ‘alaihi wa sallam, Ummu Salamah, bahwa budaknya yang bernama
Khairah telah melahirkan seorang bayi laki-laki.
Ummul Mukminin hanyut dalam kegembiraan dan wajahnya tampak ceria
dan berseri-seri. Dia mengutus seseorang untuk membawa ibu dan bayinya ke rumah
selama masa-masa pemulihan pasca melahirkan. Khairah adalah budak yang paling
beliau sayangi dan beliau telah rindu menantikan kelahiran bayi pertama dari
budaknya itu.
Tak lama setelah itu Khairah pun datang dengan bayi di
gendongannya. Ketika Ummu Salamah memandangnya, beliau langsung menyukai bayi
itu karena wajahnya yang tampan dan cerah, menarik hati siapapun yang
memandangnya.
Ummu Salamah bertanya kepada budaknya: “Sudahkah engkau
memberikan nama untuknya wahai Khairah?” Khairah menjawab: “Belum, aku ingin
Anda-lah yang memilihkan nama untuknya sesuka Anda.”
Ummu Salamah berkata, “Kita akan memberi nama yang diberkahi
Allah Subhanahu wa Ta’ala yaitu Hasan.” Lalu beliau mengangkat tangannya untuk
mendoakan kebaikan bagi sang bayi.
Kebahagiaan atas kelahiran Hasan itu tidak hanya dirasakan
oleh keluarga Ummul Mukminin Ummu Salamah saja. Namun juga dirasakan oleh seisi
rumah di Madinah, yaitu di rumah sahabat utama yang juga penulis wahyu Rosululloh,
Zaid bin Tsabit. Sebab ayah si bayi, yakni Yasaar, adalah budak Zaid bin Tsabit
yang paling disayangi dan diutamakan di antara budak yang lain.
Hasan bin Yassar (yang pada akhirnya lebih terkenal dengan
sebutan Hasan al-Bashri) tumbuh di salah satu rumah Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, besar di pangkuan salah satu istri beliau, yaitu Hindun binti Suhail
yang lebih sering dipanggil dengan Ummu Salamah.
Adapun Ummu Salamah –kalau pembaca belum tahu- adalah
seorang wanita Arab yang termasuk paling sempurna akalnya, banyak keutamaannya,
dan teguh pendiriannya. Beliau juga termasuk istri nabi yang paling luas
pengetahuannya dan paling banyak meriwayatkan hadis dari Rosululloh. Beliau
meriwayatkan sebanyak 387 hadis. Beliau juga termasuk dari sedikit bilangan
wanita di masa jahiliyah yang mampu baca-tulis.
Hubungan bayi yang beruntung itu dengan Ummu Salamah tidak
hanya sebatas itu. Lebih jauh lagi, karena seringkali ibunda beliau, Khairah,
harus keluar dari rumah untuk mengurus kebutuhan Ummul Mukminin sehingga harus
meninggalkan bayinya. Bila sang bayi menangis karena lapar, maka Ummul Mukminin
meletakkan bayi itu di pangkuannya, lalu disusui supaya diam. Karena rasa
cintanya terhadap bayi itu, Ummul Mukminin bisa mengeluarkan air susu yang
kemudian diminum oleh si bayi hingga merasakan kenyang dan diam dari tangisnya.
Dengan demikian, kedudukan Ummu Salamah bagi Hasan al-Bashri adalah sebagai ibu
dalam dua sisi. Pertama karena Hasan al-Bashri adalah seorang dari mukminin sedang
Ummu Salamah adalah Ummul Mukminin. Kedua Ummu Salamah adalah ibu susuan bagi
beliau.
Anak ini meraih kesempatan emas untuk bergaul dengan
istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebab rumah-rumah mereka
berdekatan sehingga ia bisa bermain dari satu rumah ke rumah yang lain. Sudah
barang tentu akhlak beliau terwarnai oleh para penghuni rumah itu dan
mendapatkan bimbingan dari mereka.
Seperti yang diceritakan oleh Hasan al-Bashri sendiri, dia
mengisi rumah Ummul Mukminin dengan ketangkasannya yang menyenangkan. Sering
dia naik ke atap rumah lalu berpindah-pindah dengan lincahnya.
Hasan dibesarkan dalam suasana yang diterangi oleh cahaya
nubuwah dan meneguk sumber air jernih (ilmu) yang tersedia di rumah-rumah
ummahatul mukminin. Beliau juga berguru kepada sahabat-sahabat utama di Masjid
Nabawi. Beliau meriwayatkan dari Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abu Musa
al-Asy’ari, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Anas bin Malik, Jabir bin
Abdillah dan lain-lain.
Meski demikian, kekaguman yang paling menonjol jatuh kepada
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Dia mengagumi keteguhan agamanya,
ketekunan ibadahnya, kezuhudannya terhadap kesenangan dunia, kefasihan
lidahnya, hikmah-hikmahnya yang berkesan di hatinya, kemantapan tutur katanya dan
nasihat-nasihatnya yang menggetarkan hati. Sehingga beliau berusaha berakhlak
dengannya dalam hal takwa dan ibadah serta mengikuti jejaknya dalam memberikan
keterangan dan kefasihan bahasanya.
Menginjak usia 14 tahun, ketika memasuki usia remaja, beliau
berpindah bersama kedua orang tuanya ke Bashrah dan menetap di sana. Dari
sinilah muncul julukan al-Bashri, yang dinisbahkan pada kota Bashrah. Lalu
keutamaan beliau mulai dikenal orang-orang di Bashrah.
Di saat Hasan al-Bashri menjadi imam, kota Bashrah merupakan
benteng Islam yang terbesar dalam bidang ilmu pengetahuan. Masjidnya yang agung
penuh dengan para sahabat dan tabi’in yang hijrah ke sana dan halaqah-halaqah
keilmuan dengan beraneka ragam dan coraknya memakmurkan masjid-masjid dan
suraunya.
Hasan al-Bashri tinggal di masjid itu dan menekuni halaqah
Abdullah bin Abbas, Habru umati Muhammad (Ustadnya umat Muhammad). Dia
mengambil pelajaran tafsir, hadis, qiraah, fiqh, adab, bahasa dan sebagainya.
Hingga beliau menjadi seorang ulama besar dan fuqaha yang terpercaya.
Maka, umat banyak menggali ilmunya, mendantangi majelisnya
serta mendengarkan ceramahnya yang mampu melunakkan jiwa-jiwa yang keras dan
mencucurkan air mata orang-orang yang terlanjur berbuat dosa. Banyak orang
terpikat dengan hikmahnya yang mempesona.
Nama Hasan al-Bashri telah menyebar di seluruh daerah dan
dikenal di mana-mana.
Para gubernur dan khalifah menanyakan dan mengikuti
beritanya.
Khalid bin Shafwan bercerita. “Aku bertemu dengan Maslamah
bin Abdul Malik di daerah Hirah, beliau berkata, ‘Wahai Khalid, ceritakan
kepadaku tentang Hasan al-Bashri, aku rasa engkau lebih mengenalnya dari yang
lain.”
Aku berkata, “Semoga Allah menjaga Anda. Saya sebaik-baik
orang yang akan memberikan keterangan tentang Hasan al-Bashri wahai Amir,
karena saya adalah tetangga sekaligus muridnya yang setia. Saya lebih mengenal
beliau daripada orang Bashrah lainnya’.”
Beliau berkata, “Ceritakan apa yang Anda ketahui
tentangnya.” Saya berkata, ‘Beliau adalah orang yang hatinya sama dengan
lahiriyahnya, perkataannya serasi dengan perbuatannya. Jika menyuruh perkara
yang ma’ruf, maka beliau pula yang paling sanggup melakukannya. Jika melarang
yang mungkar, beliau pula yang paling mampu meninggalkannya. Saya mendapatinya
sebagai orang yang tidak memerlukan pemberian; dan zuhud terhadap apa yang ada
di tangan orang lain. Sebaliknya saya dapati betapa orang-orang memerlukan dan
menginginkan apa yang dimilikinya.”
Maslamah berkata, “Cukup wahai Khalid, cukup. Bagaimana kaum
itu bisa sesat, bila ada orang semisal dia di tengah-tengah mereka?”
Ketika Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi berkuasa di Irak,
bertindak sewenang-wenang dan kejam di wilayahnya, Hasan al-Bashri adalah
termasuk dalam bilangan sedikit orang yang berani menentang dan mengecam keras
akan kezaliman penguasa itu secara terang-terangan.
Suatu ketika, Hajjaj membangun istana yang megah untuk
dirinya di kota Wasit. Ketika pembangunan selesai, diundangnya orang-orang
untuk melihat dan mendoakannya. Hasan al-Bashri tak mau menyia-nyiakan
kesempatan yang baik di mana banyak orang sedang berkumpul. Dia tampil
memberikan ceramah, mengingatkan mereka agar bersikap zuhud di dunia dan
menganjurkan manusia untuk mengejar apa yang ada di sisi Allah Subhanahu wa
Ta’ala.
Begitulah, ketika Hasan al-Bashri tiba di tempat itu dan
melihat begitu banyak orang-orang mengelilingi istana yang megah dan indah
dengan halamannya yang luas, beliau berdiri untuk berkhutbah. Di antara yang
beliau sampaikan adalah: “Kita mengetahui apa yang dibangun oleh manusia yang
paling kejam dan kita dapati Fir’aun yang membangun istana yang lebih besar dan
lebih megah daripada bangunan ini. Namun kemudian Allah membinasakan Fir’aun
beserta apa yang dibangunnya. Andai saja Hajjaj bahwa penghuni langit telah
membencinya dan penduduk bumi telah memperdayakannya…”
Beliau terus mengkritik dan mengecam hingga beberapa orang
mengkhawatirkan keselamatannya dan memintanya berhenti: “Cukup Wahai Abu Sa’id,
cukup.”
Namun Hasan al-Bashri berkata, “Wahai saudaraku, Allah
Subhanahu wa Ta’ala telah mengambil sumpah dari ulama agar menyampaikan
kebenaran kepada manusia dan tak boleh menyembunyikannya.”
Keesokan harinya Hajjaj menghadiri pertemuan bersama para
pejabatnya dengan memendam amarah dan berkata keras: “Celakalah kalian! Seorang
dari budak-budak Basrah itu memaki-maki kita dengan seenaknya dan tak seorang
pun dari kalian berani mencegah dan menjawabnya. Demi Allah, akan kuminumkan
darahnya kepada kalian wahai para pengecut!”
Hajjaj memerintahkan pengawalnya untuk menyiapkan pedang beserta
algojonya dan menyuruh polisi untuk menangkap Hasan al-Basri.
Dibawalah Hasan al-Basri, semua mata mengarah kepadanya dan
hati mulai berdebar menunggu nasibnya. Begitu Hasan al-Basri melihat algojo dan
pedangnya yang terhunus dekat tempat hukuman mati, beliau menggerakkan bibirnya
membaca sesuatu. Lalu berjalan mendekati Hajjaj dengan ketabahan seorang
mukmin, kewibawaan seorang muslim, dan kehormatan seorang da’i di jalan Allah.
Demi melihat ketegaran yang demikian, mental Hajjaj menjadi
ciut. Terpengaruh oleh wibawa Hasan al-Basri, dia berkata ramah: “Silahkan
duduk di sini wahai Abu Sa’id,
silahkan..”
Seluruh yang hadir menjadi bengong dan terheran-heran
melihat perilaku amirnya yang mempersilahkan Hasan al-Basri duduk di kursinya.
Sementara itu, dengan tenang dan penuh waibawa Hasan al-Basri duduk di tempat
yang disediakan. Hajjaj menoleh kepadanya lalu menanyakan berbagai masalah
agama, dan dijawab Hasan al-Basri dengan jawaban-jawaban yang menarik dan
mencerminkan pengetahuannya yang luas.
Merasa cukup dengan pertanyaan yang diajukan, Hajjaj
berkata, “Wahai Abu Sa’id, Anda benar-benar tokoh ulama yang hebat.” Dia
semprotkan minyak ke jenggot Hasan al-Basri lalu diantarkan sampai di depan
pintu.
Sesampainya di luar istana, pengawal yang mengikuti Hasan
al-Basri berkata, “Wahai Abu Sa’id sesungguhnya Hajjaj memanggil Anda untuk
suatu urusan yang lain. Ketika Anda masuk dan melihat algojo dengan pedangnya
yang terhunus, saya lihat Anda membaca sesuatu, apa sebenarnya yang Anda
lalukan ketika itu?”
Beliau berkata, (Aku berdoa) “Wahai Yang Maha Melindungi dan
tempatku bersandar dalam kesulitan, jadikanlah amarahnya menjadi dingin dan
menjadi keselamatan bagiku sebagaimana Engkau jadikan api menjadi dingin dan
keselamatan bagi Ibrahim.”
Kejadian serupa sering dialami Hasan al-Basri berhubungan
dengan para wali negeri dan amir, di mana beliau selalu lolos dari setiap
kesulitan tanpa menjatuhkan wibawanya di mata para penguasa tersebut dengan
lindungan dan pemeliharaan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Setelah wafatnya khalifah yang zuhud Umar bin Abdul Aziz,
kekuasaan beralih ke tangan Yazid bin Abdul Malik. Khalifah baru ini mengangkat
Umar bin Hubairah al-Faraqi sebagai gubernur Irak sampai Khurasan. Yazid
ditengarai telah berjalan tidak seperti jalannya kaum salaf yang agung. Dia
senantiasa mengirim surat kepada walinya, Umar bin Hubairah agar melaksanakan
perintah-perintah yang ada kalanya melenceng dari kebenaran.
Untuk memecahkan problem itu, Umar bin Hubairah memanggil
para ulama di antaranya asy-Sya’bi dan Hasan al-Basri. Dia berkata:
“Sesungguhnya Amirul Mukminin, Yazid bin Abdul Malik telah diangkat oleh Allah
Subhanahu wa Ta’ala sebagai khalifah atas hamba-hamba-Nya. Sehingga wajib
ditaati dan aku diangkat sebagai walinya di negeri Irak sampai kupandang tidak
adil. Dalam keadaan yang demikian, bisakah kalian memberikan jalan keluar
untukku, apakah aku harus menaati perintah-perintahnya yang bertentangan dengan
agama?”
Asy-Sya’bi menjawab dengan jawaban yang lunak dan sesuai
dengan jalan pikiran pemimpinnya itu, sedangkan Hasan al-Basri tidak
berkomentar sehingga Umar menoleh kepadanya dan bertanya, “Wahai Abu Sa’id,
bagaimana pendapatmu?”
Beliau berkata, “Wahai Ibnu Hubairah, takutlah kepada Allah
atas Yazid dan jangan takut kepada Yazid karena Allah. Sebab ketahuilah bahwa
Allah Subhanahu wa Ta’ala bisa menyelamatkanmu dari Yazid, sedangkan Yazid tak
mampu menyelamatkanmu dari murka Allah. Wahai Ibnu Hubairah, aku khawatir akan
datang kepadamu malaikat maut yang keras dan tak pernah menentang perintah
Rabb-nya lalu memindahkanmu dari istana yang luas ini menuju liang kubur yang
sempit. Di situ engkau tidak akan bertemu dengan Yazid. Yang kau jumpai
hanyalah amalmu yang tidak sesuai dengan perintah Rabb-mu dan Rabb Yazid.”
“Wahai Ibnu Hubairah, bila engkau bersandar kepada Allah dan
taat kepada-Nya, maka Dia akan menahan segala kejahatan Yazid bin Abdul Malik
atasmu di dunia dan akhirat. Namun jika engkau lebih suka menyertai Yazid dalam
bermaksiat kepada Allah, niscaya Dia akan membiarkanmu dalam genggaman Yazid.
Dan sadarilah wahai Ibnu Hubairah, tidak ada ketaatan bagi makhluk, siapapun
dia, bila untuk bermaksiat kepada Allah.”
Umar bin Hubairah menangis hingga basah jenggotnya karena
terkesan mendengarnya. Dia berpaling dari asy-Sya’bi kepada Hasan al-Basri,
Umar semakin bertambah hormat dan memuliakannya. Setelah kedua ulama itu keluar
dan menuju ke masjid, orang-orang pun datang berkerumun ingin mengetahui berita
pertemuan mereka dengan amir Irak tersebut.
Asy-Sya’bi menemui mereka dan berkata; “Wahai kaum
barangsiapa mampu mengutamakan Allah atas makhluk-Nya dalam segala keadaan dan
masalah, maka lakukanlah. Demi yang jiwaku ada di tangan-Nya, semua yang
dikatakan Hasan al-Basri kepada Umar bin Hubairah juga aku ketahui. Tapi yang
kusampaikan kepadanya adalah untuk wajahnya, sedangkan Hasan al-Basri
menyampaikan kata-katanya demi mengharap wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka
aku disingkirkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dari Ibnu Hubairah, sedangkan Hasan
al-Basri didekati dan dicintai…”
Allah memberikan karunia umur kepada Hasan al-Basri hingga
berusia lebih dari 80 tahun dan telah memenuhi dunia ini dengan ilmu, hikmah
dan fiqih. Warisan yang diunggulkannya bagi generasi kini di antaranya adalah
kehalusan dan nasihat-nasihatnya yang mampu menyegarkan jiwa dan mampu menyentuh hati, menjadi petunjuk
bagi mereka yang lalai akan hakikat kehidupan dunia serta ihwal manusia dalam
menyikapi dunia.
Beliau pernah ditanya oleh seseorang tentang dunia dan
keadaannya. Beliau berkata, “Anda bertanya tentang dunia dan akhirat.
Sesungguhnya perumpamaan dunia dan akhirat adalah seperti timur dan barat, bila
satu mendekat, maka yang lain akan menjauh.”
Dan Anda memintaku supaya menggambarkan tentang keadaan
dunia ini. Maka aku katakan bahwa dunia diawali dengan kesulitan dan diakhiri
dengan kebinasaan, yang halal akan dihisab dan yang haram akan berujung siksa.
Yang kaya akan menghadapi ujian dan fitnah, sedang yang miskin selalu dalam
kesusahan.”
Adapun jawaban terhadap pertanyaan orang lain tentang
keadaannya dan keadaan orang lain dalam menyikapi dunia beliau berkata, “Duhai
celaka, apa yang telah kita perbuat atas diri kita? Kita telah menelantarkan
agama kita dan menggemukkan dunia kita, kita rusak akhlak kita dan kita
perbaharui rumah, ranjang serta pakaian kita. Bertumpu pada tangan kiri, lalu
memakan harta yang bukan haknya.
Makanannya hasil menipu, amalnya karena terpaksa, ingin yang
manis setelah yang asam, ingin yang panas setelah yang dingin, ingin yang basah
setelah yang kering, hingga manakala telah penuh perutnya ia berkata, “Wahai
anakku, ambill obat pencerna.” Hai orang yang dungu, sesungguhnya yang kau
cerna itu adalah agamamu.
Mana tetanggamu yang lapar?
Mana yatim-yatim kaummu yang lapar?
Mana orang miskin yang menantikan uluranmu?
Mana nasihat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan rasul-Nya?
Kalau saja engkau sadari hisabmu. Tiap kali terbenam
matahari, berkuranglah satu hari usiamu dan lenyaplah sebagian yang ada
padamu.”
Kamis malam di bulan Rajab 110 H, Hasan al-Basri pergi
memenuhi panggilan Rabb-nya. Pagi harinya menjadi pagi duka cita bagi kota
Bashrah.
Jenazahnya dimandikan, dikafani dan dishalatkan setelah
shalat Jumat di masjid Jami Basrah, masjid tempat di mana beliau menghabiskan
banyak waktu hidupnya, belajar dan mengajar serta menyeru ke jalan Allah.
Orang-orang mengiringkan jenazahnya dan hari itu tak ada
shalat ashar di Masjid Jami tersebut karena tak ada yang menegakkannya. Dan
shalat jamaah ashar tidak pernah absen sejak dibangunnya masjid itu kecuali di
hari itu. Hari di mana Hasan al-Basri berpulang ke haribaan Rabb-nya.
***
Sumber: Mereka adalah Para Tabi’in, Dr. Abdurrahman Ra’at
Basya, At-Tibyan, Cetakan VIII, 2009